Rabu, 20 Juli 2011

Jangan lupakan Ayah mu


Jangan lupakan Ayah mu
[Image: young-father_with_baby_0.jpg]

Biasanya, bagi seorang anak perempuan yang sudah dewasa, yang sedang kuliah di luar kota jauh dari orang tua, yang sedang bekerja di perantauan,….
Akan sering merasa kangen [sekali] dengan Bundanya.. Lalu bagaimana dengan Ayah ??
Mungkin karena Bunda lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaanmu setiap harinya, tapi tahukah kamu jika Ayah-lah yang mengingatkan Bunda untuk menelponmu ?

Mungkin dulu sewaktu kamu kecil, Bunda yang lebih sering mengajak cerita atau berdongeng, tapi tahukah kamu, bahwa sepulang Ayah bekerja dan dengan raut muka lelah Ayah selalu menanyakan pada Bunda tentang kabarmu dan apa yang kamu lakukan seharian ??
Pada saat kamu menangis merengek minta boneka atau mainan baru, Bunda menatapmu iba. Tetapi Ayah akan mengatakan dengan tegas : “Boleh, nanti beli, tapi tidak sekarang. ”
[Image: ayah-anak21.jpg]

Tahukah kamu, Ayah melakukan itu karenan tidak ingin kamu menjadi anak yang manja dengan semua tuntutan yang selalu dapat dipenuhi ?
Saat kamu sakit, Ayah yang terlalu khawatir sampai kadang sedikit membentak dengan berkata : ” Sudah dibilang ! Kamu jangan hujan2an ! Minum es !”.

Walau tidak selembut kasih seorang ibu, kasih seorang ayah begitu mendalam dihati
Berbeda dengan Bunda yang memerhatikan dan menasihatimu dengan lembut.
Ketahuilah, saat itu Ayah benar-benar mengkhawatirkanmu.
Ketika kamu sudah beranjak remaja..
Kamu mulai menuntut pada Ayah untuk dapat izin keluar malam, dan Ayah bersikap tegas dan mengatakan : “Tidak boleh !”.
Tahukah kamu, bahwa Ayah ingin menjagamu ? Karena bagi Ayah, kamu adalah sesuatu yang sangat luar biasa berharga..Setelah itu, kamu marah pada Ayah, dan masuk ke kamar sambil membanting pintu…
Dan yang datang mengetuk pintu dan membujukmu agar tidak marah adalah Bunda…

Tahukah kamu, bahwa saat itu Ayah memejamkan matanya dan menahan gejolak dalam batinnya, bahwa Ayah sangat ingin mengikuti keinginanmu, Tapi lagi-lagi dia HARUS menjagamu ??

Ketika saat seorang cowok mulai sering menelponmu, atau bahkan datang ke rumah untuk menemuimu, Ayah akan memasang tampang paling cool sedunia… D
Dan sesekali menguping atau mengintip saat sedang kamu sedang mengobrol..
Sadarkah kamu, kalu hati Ayah sedang cemburu ??
Saat kamu mulai lebih dipercaya, dan Ayah melonggarkan sedikit peraturan untuk keluar rumah untukmu, kamu memaksa untuk melanggar jam malamnya…
Maka yang dilakukan Ayah adalah duduk di ruang tamu, menunggumu pulang dengan hati yang sangat khawatir..
Setelah lulus SMA, Ayah akan sedikit memaksamu untuk menjadi seorang Dokter atau Insinyur.. Ketahuilah, bahwa seluruh paksaan yang dilakukan Ayah itu semata-mata hanya karena memikirkan mas depanmu nanti…
Tapi toh Ayah tetap tersenyum dan mendukungmu saat pilihanmu tidak sesuai dengan keinginan Ayah.. )

Ketika kamu menjadi gadis dewasa.. Dah harus kuliah di kota lain.. Dan harus melepasmu di terminal stasiun atau bandara…
Tahukah kamu bahwa badan Ayah terasa kaku untuk memelukmu ?
Dan Ayah hanya bisa tersenyum sambil memberi nasehat ini itu, dan menyuruhmu untuk berhati-hati…
Padahal Ayah ingin sekali menangis seperti Bunda dan memelukmu erat..
Yang Ayah lakukan hanya memeluk pundakmu atau memegang kepalamu, berkata ” Jaga dirimu baik-baik ya. ”
Ayah melakukan itu semua agar kamu KUAT… kuat untuk pergi dan menjadi dewasa.. *amiiiinn…..

Disaat kamu butuh uang untuk membiayai uang semester dan kehidupanmu, orang pertama yang mengerutkan kening adalah Ayah.. Ayah juga berusaha keras mencari jalan agar anaknya merasa SAMA dengan teman-teman lainnya.

Saatnya kamu diwisuda sebagai seorang sarjana..
Ayah adalah orang pertama yang berdiri dan memberi tepuk tangan untukmu.
Ayah akan tersenyum dengan bangga dan puas melihat “putri kecilnya yang tidak manja berhasil tumbuh dewasa, dan telah menjadi seseorang”

Sampai saat seorang teman Lelakimu datang ke rumah dan meminta izin pada Ayah untuk mengambilmu darinya..
Ayah akan sangat berhati-hati memberikan izin..
Karena Ayah tahu…..
Bahwa lelaki itulah yang akan menggantikan posisinya nanti!!

Dan akhirnya….
Saat Ayah melihatmu duduk di Panggung Pelaminan bersama seseorang Lelaki yang di anggapnya pantas menggantikannya, Ayah pun tersenyum bahagia….
Apakah kamu mengetahui, di hari yang bahagia itu Ayah pergi kebelakang panggung sebentar, dan menangis?

Ayah menangis karena Ayah sangat berbahagia, kemudian Ayah berdoa….
Dalam lirih doanya kepada Tuhan, Ayah berkata: “Ya Allah tugasku telah selesai dengan baik….
Putri kecilku yang lucu dan kucintai telah menjadi wanita yang cantik….
Bahagiakanlah ia bersama suaminya…”
[/align]
[Image: abang-eddy-akhusyuknya-rangkulan-ayah_617_l.jpg]

Setelah itu Ayah hanya bisa menunggu kedatanganmu bersama cucu-cucunya yang sesekali datang untuk menjenguk…
Dengan rambut yang telah dan semakin memutih….
Dan badan serta lengan yang tak lagi kuat untuk menjagamu dari bahaya….
Ayah telah menyelesaikan tugasnya….
Ayah, Papa, Bapak, atau Abah kita…
Adalah sosok yang harus selalu terlihat kuat…
Bahkan ketika dia tidak kuat untuk tidak menangis…
Dia harus terlihat tegas bahkan saat dia ingin memanjakanmu. .
Dan dia adalah yang orang pertama yang selalu yakin bahwa “KAMU BISA” dalam segala hal…

Aku Ayahmu, Anakku
Aku adalah ayahmu, Anakku. Aku tak tahu bagaimana atau dengan bahasa seperti apa engkau dan kawan-kawan sepermainanmu di sana menyebutnya. Ayahmu inilah seorang lelaki yang akan menjadi lantaran bagi kelahiranmu ke dunia. Seorang lelaki yang diberi kepercayaan Tuhan untuk menaburkan benih-benih cinta dalam rahim ibumu yang gembur dan subur. Ah, aku pun tak tahu bagaimana caramu dan kawan-kawan sepermainanmu menyebut seorang ibu di sana, tetapi dia adalah perempuan yang akan memberi perlindungan bagi benih yang bertumbuh di rahimnya dari ruhmu kemudian merawat dan menyianginya dengan penuh kasih sayang setulus kemampuan dan hidupnya hingga sempurnalah engkau.

[Image: 051945p.jpg]

Dengarkanlah ceritaku karena suatu ketika ibumu itu telah berkata kepada ayah: “Aku telah hampir menjadi demikian lelah sehingga bermacam pikiran masuk ke dalam otakku. Yang paling buruk dari itu semua adalah: apakah aku harus memancangkan tinggi-tinggi selebar panji bertuliskan Aku Bukanlah Perempuan Seutuhnya?”

Aku tentu tidak akan bertindak bodoh dengan menanggapi kata-kata yang hanya berupa pelampiasan dari rasa putus asanya itu. Kau tahu apa yang aku lakukan saat itu? Ayahmu ini hanya tertawa dan mengatakan padanya: “Jangan bodoh! Mana ada bukan perempuan seutuhnya yang secantik engkau?” Lalu ibumu itu mengembang tangis. “Jangan mengigau, hanya membuatku bertambah parah!” katanya memelas, air matanya telah berlinangan. “ Lalu kenapa bukan perempuan seutuhnya seperti engkau bisa menangis dan berkeluh kesah justru selayaknya perempuan seutuhnya?”
Ibumu terdiam, Anakku. Mungkin dipikirnya kata-kata ayah ada benarnya. Justru sepertinya kini dia merasa menjadi perempuan seutuhnya karena telah menunjukkan perasaan sedih dan melankolis yang sejatinya lebih banyak dimiliki perempuan. Seorang lelaki seperti ayah mungkin pula dapat menjadi melankolis dan tidak mampu menyimpan terlalu rapat kesedihannya, tetapi seorang lelaki adalah tetap seorang lelaki dengan pedang dan bara api sebagai perlambang, selemah apapun dia.

“Kau hanya melihat dirimu dari sudut pandang yang kau ingini saja. Jika kau berdiri di alasku, sebagai aku, kau akan mengatakan bahwa perempuan seutuhnya bukanlah perempuan yang tidak mampu beranak. Kau pikir perempuan hanya seekor Ratu Rayap yang lahir, beranak dan kemudian mati? Tentu saja bukan, karena engkau lahir, bertumbuh melalui proses sedemikian lama, bersekolah di sekolah manusia, menemukan pasangan dan lalu menikah. Kau tahu Ratu Rayap, bukan? Dia hanya mampu berbaring sepanjang hari dengan perut yang besar dan berisi telur-telur bakal anaknya. Dan kau tahu siapa yang membuahinya? Ah, aku tak mau membuatmu ngeri. ”
Ibumu lalu tertawa dan justru air matanya itu menjadi tumpah sama sekali mengaliri kedua pipinya yang permai. Ah, Anakku, kau harus melihat jika dia tertawa. Sungguh tak ada bedanya dengan seorang bidadari pengasuhmu yang tercantik dan mungkin menjadi favoritmu dan sering kau godai dengan menarik-narik anak rambut dekat telinganya atau kau gigit ibu jarinya. Kemudian jika dia berpura-pura marah dan lari mengejarmu kau dengan senang hati membuatnya lelah dengan berputar-putar di bawah sebatang pohon surga sambil berteriak-teriak: Tangkap aku! Tangkap aku!

Anakku, kukatakan kepadamu, ibumu akan dengan senang hati pula mengejarmu jika kelak engkau mencoba lari dari pondongannya setelah kau ganggui pula. Aku jamin yang demikian itu. Lalu yang terjadi kemudian kau pasti akan bersembunyi di belakang tubuhku, tapi aku berpura-pura tidak melihatmu dan ibumu hanya mendapatkan bagian depan tubuhku, tapi dia akan menyembunyikan tawanya dan tetap berpura-pura kehilanganmu untuk menyenangkan hatimu. Itu salah satu bayangan tentang kebersamaan kita kelak. Indah, bukan? Semoga waktu itu akan cepat datang karena akupun telah tak sanggup bersabar lagi kecuali jika memang aku harus tetap bersabar. Musim demi musim yang bahagia ataupun putaran bumi yang membosankan telah aku lalui bersama hanya dengan ibumu. Tidakkah kau melihatnya dari ketinggian dan berkehendak untuk mempercepat waktu yang akan datang kelak dan berada di tengah-tengah kami?
Anakku, aku adalah ayahmu. Kau boleh coba membuktikannya dengan mengumpulkan semua kawan sebayamu yang senantiasa bermain-main denganmu di sana, di antara rasa segan dan jenuh menunggu titah Tuhan untuk turun ke dunia dan berdiri berjajar di hadapanku. Kalian pun boleh memasang banyak ekspresi yang kalian mampu untuk mengelabuiku dan aku akan tetap dapat menunjukmu dengan jitu. Kalian, kau pun anakku, boleh menyangkalnya untuk memberikan ujian yang lebih sulit kepadaku walaupun aku telah memilihmu, tapi aku tidak akan sedikitpun menjadi ragu karena aku tahu dan yakin akan hatiku yang telah benar-benar terikat takdir Tuhan padamu. Aku akan mengenali raut wajahmu, hapal aroma tubuhmu, menemukan pahatan-pahatan kalam Tuhan yang menunjukkanmu padaku dari tiap serat rambutmu. Atau perlu kubawa ibumu serta? Karena seorang ibu akan dapat mengenali buah hatinya dengan mata tertutup saja. Dia jelas akan lebih lihai daripada ayah, seperti seorang petani mengenali angin musim dan perubahan cuaca. Dengan doa pun dia terasa lebih akrab dari siapapun yang pernah berdoa hingga aku pernah berkata kepada ibumu:
“Jauhkanlah prasangka burukmu kepada Tuhan.” Ibumu hanya memandangku tidak mengerti. “Apa maksudmu?” “Jauhkan prasangka burukmu kepada Tuhan.” “Aku tidak berprasangka buruk kepada Tuhan. Kenapa kau mendugaku seperti itu?” “Bukankah di setiap lima waktumu dalam satu harinya kau sibukkan untuk berbicara kepada Tuhan? Meminta dan meminta agar anak yang masih di dalam surga itu Dia tiupkan ruh-nya segera ke dalam rahimmu?” “Apakah dengan begitu aku berprasangka buruk kepada Tuhan?” “Ya, kau pikir Dia tidak mendengarmu karena itu kau selalu mengulang-ngulang doa yang sama. Dan bukan hanya itu, jika kau kelak akan bosan, bukankah akhirnya kau pun akan berlari menjauhi-Nya? Lagipula, berapa banyak yang kau lalaikan hanya untuk meminta yang satu itu?” “Aku tak akan pernah bosan.” “Tetapi kau sering menangis di hadapanku dan berkeluh kesah. Bukankah itu merupakan pertanda bahwa kau telah bosan?” Ibumu hanya diam, Anakku. Seperti biasanya. “Panggillah dia lewat hatimu, buah hati yang kau dambakan itu. Mungkin saja Ruh bakal anakmu itu terlalu nakal dan selalu bersembunyi ketika giliran waktunya telah tiba untuk menjadi mahluk malang yang bernama manusia. Mungkin dunia ini terlalu menakutkan baginya dan dia lebih memilih berlama-lama di ribaan Tuhan.”
Apakah demikian, Anakku? Karena ayah pun tak pasti dan hanya membual di hadapan ibumu. Menurutku itu lucu, tapi memang bisa jadi benar. Kau terlalu nakal dan bidadari pengasuhmu itu terlalu sayang padamu hingga untuk memukul pantat permaimu atas kenakalanmu itu saja dia tidak akan tega.

Jika memang benar demikian, Anakku, akupun harus memukul kedua pantat permaimu itu karena kau tidak memiliki kepercayaan kepada kami: aku dan ibumu. Kau pikir ayahmu ini tidak akan sanggup membimbing sekaligus menjagamu? Merawatmu sejak kau keluar dari perut ibumu, memberikan segala yang kau butuhkan hingga engkau dapat mengginginkannya sendiri walaupun dengan menangis, menjauhkanmu dari hal-hal buruk dunia dan menyiapkanmu sebagai manusia yang baik kelak?
Memang, Anakku, dunia yang kini aku dan ibumu tinggali adalah dunia yang tidak akan bisa dibandingkan dengan tempat yang kau diami sekarang. Dunia yang kami tempati sekarang adalah dunia yang berbahaya dan menakutkan di mana kebaikan menjadi satu keping terkecil dari sebuah bulatan bernama keburukan. Tetapi yang sekeping kecil itu sebenarnyalah lebih berat timbangan nilainya dari seseluruhan keping yang besar. Sungguh, ayah akan menjadikanmu bagian dari kepingan yang kecil itu. Aku bersumpah dengan segala kemampuan dan kekuatanku. Apa lagi yang kau tunggu? Bukankah ayah telah bersumpah?

Aku adalah ayahmu, Anakku, maka dengarkanlah. Tidakkah kaupun selalu dapat mendengarkan ataupun mencuri dengar doa-doa ibumua yang di bawa malaikat menuju Sidratul Muntaha di waktu-waktunya? Pun harapan-harapan yang sebenarnya tidaklah terlalu berlebihan dari seorang perindu seperti aku, ayahmu?

Sebenarnyalah telah basah sajadahku, kuyup alas tidurku karena air mataku. Air mata yang kusembunyikan dari ibumu agar dia tak menganggapku seperti lelaki yang bukan lelaki seutuhnya. Karena sungguh, aku tak mampu melihatnya mengulum kesedihannya di mana sebenarnya aku dapat memberikan satu ketenangan padanya, cukuplah aku dengan tangisanku sendiri. Aku telah merasa cukup banyak berdoa pada Tuhan dan aku yakin sebenarnya semua itu telah di dengar-Nya dan aku malu untuk meminta lebih banyak lagi.
Aku memohon kepadamu, hadirlah. Beri kebahagiaan bagi ayah dan ibumu. Atau jika semua itu belumlah cukup, beri kami kepastian atau suatu pertanda agar lebih besar lagi harapan kami akan kepastian yang kelak akan datang itu. Aku adalah ayahmu, Anakku, maka sangat wajar jika aku sering memimpikanmu bahkan bukan hanya di salah satu dari waktu tidurku. Ayah pikir, itu adalah salah satu pertanda bagi kehadiranmu kelak, entah kapan. Seperti engkau berkata: “Ayah, bersabarlah.”

Ayah telah sangat bersabar, Anakku, pun ibumu. Dan ayah akan tetap mencoba bersabar jika memang kepastian itu benar-benar akan datang. Beberapa putaran waktu lagi atau sampai memutih rambut dan renta tubuhku pula ibumu, kami akan bersabar. Tetapi sungguh, batas antara sabar dan tidak itu tidaklah begitu tebal sehingga tidak sukar bagi kami untuk meretasnya. Mungkin kau belum tahu jiwa manusia yang rapuh seperti daun-daun kering, begitulah mungkin jika nanti kaupun mewujud kamanungsan. Ibumu pun tanpa pernah disangka-sangka berkata suatu waktu: “Aku sering memimpikannya bahkan di saat bukan salah satu dari waktu tidurku.” Ayah terkejut karena ibumu pun memimpikan hal yang sama. “Ah, bukankah dia hanya menyuruhmu untuk bersabar?” “Tidak.” “Lalu?” Ibumu memeluk ayah dan berbisik di kuping dengan lembut:
“Kebahagiaan akan datang. Entah itu segera, entah itu di waktu yang tidak pernah kita bayangkan, atau jika kita telah tidak berada lagi di dunia….entah, entah dan berapa entah lagi. Tapi akan datang. Sungguh akan datang.” Kali itu ayahlah yang terdiam, Anakku. Entah itu adalah pertanda darimu, apa atau bagaimana, aku yakin kau telah memberinya keyakinan dengan caramu, dengan persetujuan Tuhan tentunya. Ayahpun tidak akan khianat dengan hati ayah bahwa ayah benar-benar percaya akan pertanda itu, tapi tanpa pernah pula menafikan rasa tidak sabar yang sering muncul menggebu-gebu. Ayah toh hanya manusia biasa.

Anakku, aku adalah ayahmu. Aku tak tahu bagaimana dan dengan bahasa seperti apa engkau dan kawan-kawan sepermainanmu di sana menyebutnya, tetapi aku adalah seorang lelaki yang menjadi lantaran bagi kelahiranmu ke dunia. Seorang lelaki yang tidak mampu menahan rindu seperti dia menahan sebuah beban yang paling beratpun di pundaknya. Seorang lelaki yang sangat sangat sangat mencintai perempuan itu, ibumu, perempuan yang aku tak tahu pula bagaimana dan dengan bahasa seperti apa engkau dan kawan-kawan sepermainanmu di sana menyebutnya, perempuan yang akan memberi perlindungan bagi benih yang bertumbuh dari ruhmu di rahimnya dan kemudian menyianginya dengan penuh kasih sayang. Kami berdua mengidap satu perasaan yang sama: hanya merindumu, tapi kuasa Tuhan pulalah yang mampu memberikan kami kekuatan untuk sekedar meredam kerinduan itu.
Sepanjang waktu dan musim yang berlalu, harapan dan kerinduan akan selalu mengemuka, tetapi kau anakku, adalah penawar bagi segala jenuh dan kesedihan yang mengiringinya jika kelak engkau benar-benar mewujud. Dengan ketiadaanmu kini aku justru teramat sangat yakin bahwa engkau sebenarnya ada.

Kini hanya cukup dengan bayang dan mimpi kita bercakap, cukup dengan kerinduan dan air mata kita bertemu karena akan datang kebahagiaan itu, saat di mana darah ibumu akan memancar dengan pertaruhan akan hidup dan matinya untuk mewujudkan hadirmu. Melahirkanmu.

Aku adalah ayahmu, Anakku. Seorang perindu yang selalu akan menantimu tidak dengan asa yang terbatas.
Semoga, Nak. Semoga.